Senin, 23 Oktober 2017

PENUNGGANG KUDA CILIK SUMBA



acuan kuda yang seru di tengah alam liar? Indonesia pun punya atraksinya. Tak percaya, datang saja ke Lombok atau Sumba.

Ada dua tempat seru untuk melihat pacuan kuda tradisional Indonesia yaitu di Lombok atau Sumba. Di lombok, balap kudanya begitu sederhana.

Kuda kebanyakan berasal di Sumbawa atau dari Lombok itu sendiri. Tidak seperti kuda di Sumba, yang ini lebih kecil namun lincah.

Karena kecilnya, maka penunggangnya juga harus ringan. Maka dari itulah, joki cilik bertebaran untuk menunggangi kuda yang saling adu kecepatan ini.

TRADISI KAIN TENUN IKAT SUMBA YANG DI KENAL MASYARAKAT




Kain tradisional Sumba dibuat dari benang-benang kapas yang ditenun oleh tangan para gadis dan ibu-ibu di sana. Melalui pengerjaan yang sabar dan penuh cinta, helai demi helai benang itu diberi ruh dan menjadi kain tenun indah. Hasil penjualannya kemudian dipakai untuk menghidupi keluarga.
Maka tepatlah bila pameran kain tenun tradisional Sumba Timur yang diselenggarakan pada tanggal 6 – 31 Agustus 2017 di Plaza Indonesia, Jakarta, diberi judul “Lukamba Nduma Luri” yang dalam bahasa Sumba berarti “benang yang memberi ruh, kain yang memberi hidup”.
Tenun Sumba umumnya dibuat menggunakan bahan dan pewarna alami. Untuk membentuk motifnya, benang-benang diikat menggunakan daun gewang, yakni semacam daun palem, agar warna pada motif berbeda dengan warna dasar.
Sedangkan untuk pewarnaan, penenun kebanyakan memakai akar mengkudu untuk mendapatkan warna merah, biru dari nila, cokelat dari lumpur, dan kuning dari kayu.
“Setiap penenun memiliki resep khusus untuk pewarnaan ini. Mereka merahasiakannya karena itu merupakan ciri dan keunikan dari kain yang dihasilkan,” ujar Fidelis Tasman Amat, penenun dari Waingapu, dalam pembukaan pameran di Plaza Indonesia, Jakarta, Selasa (8/8/2017).

Jumat, 13 Oktober 2017

Tradisi Lomba Pacuan Kuda Sumba


Pacuan Kuda Tradisional Sumba memperebutkan piala Bupati Sumba Timur,yang dilangsungkan di Lapangan Rihi Eti, Kelurahan Prailu, Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur,NTT, diikuti oleh 709 ekor kuda. 

Banyaknya jumlah kuda pacu yang ambil bagian dalam event yang diagendakan setiap tahun itu dinilai layak untuk   dicatat sebagai rekor oleh Museum Rekor Indonesia (Muri). 

Penilaian itu dikemukakan oleh Umbu S.Samapaty, mantan ketua Persatuan Olah Raga Berkuda Seluruh Indonesia(Pordasi) pusat, kala ditemui di tribun penonton pacuan kuda di Rihi Eti, Jumat (25/10) siang tadi.

Samapaty memaparkan, jika panitia pelaksanaan pacuan kuda ini sebelum pelaksanaan event ini berkoordinasi dengan MURI, bukan mustahil akan tercatat sebagai rekor Indonesia atau bahkan dunia.

"Saya ini mantan ketua Pordasi pusat.Sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya yang berkesimpung dalam dunia pacua kuda hingga sempat menjabat ketua Pordasi pusat, aya paham betul soal pacuan kuda, tidak pernah ada pacuan yang kuda pesertanya sebanyak ini yang sampai 709 ekor kuda, ini saja sudah rekor tersendiri,"papar Samapaty.

Tak hanya jumlah kuda pesertanya yang fantastis, Samapaty juga menyebutkan, durasi waktu pelaksanaan juga rekor tersendiri."Karena banyak kuda yang ikut, tentu juga makan waktu lama. Yang pernah saya tahu, paling banyak kuda peserta ditempat lain 200 hingga 300 ekor.Paling lama pula pelaksanaannya seminggu.Ada pula keunikan lainnya, yakni rute atau jalur yang ditempuh yang berlawanan arah jarum jam,"pungkasnya.

Harapan yang sama juga dikemukakan oleh sejumlah penonton yang ditemui di tribun penonton.

Tradisional pasola sumba

 Sejak pagi hari masyarakat Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), telah mengadakan rangkaian tradisi adat Bau Nyale, pada Selasa (2/2/2016). Tradisi tersebut merupakan kegiatan menangkap cacing laut yang hanya ada satu tahun sekali di daerah tersebut.
Kemudian di siang harinya dilanjut kegiatan Pasola, yaitu bertarung saling melemparkan tombak kayu dengan mengendarai kuda.
Seperti yang disampaikan oleh Sekertaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumba Barat, Annisa Umar, saat dihubungi KompasTravelSenin (1/2/2016) sore. “Benar, besok (hari ini), Selasa 2 Februari diadakannya Bau Nyale dan Pasola,” kata Annisa.
Bau Nyale sendiri diadakan mulai pagi hari di Kecamatan Lamboya. Warga yang berbondong-bondong ke sekitar pantai untuk menangkap nyale yang merupakan cacing laut. Sedangkan pada siang harinya diikuti tradisi Pasola sebagai permohonan restu kepada Sang Dewa.
Tradisi Bau Nyale berarti menangkap nyale, si cacing laut, telah diadakan sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Menangkap cacing langka ini merupakan tradisi, karena selain cacing yang hanya keluar satu tahun sekali di daerah tersebut, cacing ini pun bermakna kesuburan bagi masyarakat Sumba Barat.
Nyale bukan hanya sekadar cacing bagi masyrakat Sumba Barat, selain sebagai sumber makanan dan kesuburan, nyale dapat menggambarkan panen warga. Perkiraan panen langsung tergambar pada warna nyale yang keluar pada saat penangkapan.
Menurut kepercayaan penduduk setempat, panen akan melimpah apabila nyale yang keluar berwarna lengkap, yaitu putih, hitam, hijau, kuning dan coklat. Warna itu juga menentukan pula banyak sedikitnya hujan yang akan turun ketika bertanam.
Semakin banyak nyale yang keluar menandakan semakin subur dan melimpah pula hasil panen. Namun, terkadang nyale tidak keluar sama sekali ketika penangkapan, seperti pada tahun 2015.Ini terjadi karena waktu penangkapan yang tidak tepat, karena perhitungannya sendiri biasanya menggunakan musyawarah para petinggi adat. Maka dari itu jika tidak keluar pada satu waktu, biasanya dilakukan kembali penangkapan nyale tersebut.
Setelah pulang dengan membawa banyak nyale, masyarakat Sumba Barat melakukan perayaan rasa sukur terhadap panen yang melimpah. Ini disebut tradisi Pasola, yang berasal dari kata “sola” yaitu tombak menurut bahas lokal, berawalan “pa” menjadikannya berarti permainan tombak.

DARATAN PADANG SAVANA MENAMBAH  DAYA TARIK TERSENDRI BUAT PULAU YANG SATU INI YAITU SUMBA DAN JUGA PANTAI YANG BERGULUNG MENAMBAH DAYA  TARI...